Senin, 07 April 2014

Biografi Buya Hamka



Hamka (1908 – 1981) adalah akronim dari Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Ia adalah seorang ulama, aktivis politik, dan penulis Indonesia yang terkenal di nusantara. Hamka lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat. Ayahnya bernama Syekh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenal sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau. Belakangan, Hamka mendapat sebutan Buya, panggilan untuk orang Minang yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.

Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau hingga kelas dua. Ketika berusia 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatra Thawalib di Padang Panjang. Di sana, ia mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pelajaran agama dari ulama terkenal, seperti Syekh Ibrahim Musa, Syekh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto, dan Ki Bagus Hadikusumo.

Pada 1927, Hamka bekerja sebagai guru agama di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan. Lalu, pada 1929 ia menjadi guru agama di Padang Panjang. Kemudian, ia dilantik menjadi dosen Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Padang Panjang dari tahun 1957 – 1958. Setelah itu, ia diangkat menjadi Rektor Perguruan Tinggi Islam Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta.

Sejak 1951 hingga 1960, ia diangkat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia. Namun, ia meletakkan jabatan itu. Ketika itu, Soekarno menyuruh ia untuk memilih menjadi pegawai negeri atau aktif dalam Masyumi.

Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai ilmu pengetahuan, baik dari sisi Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia mampu meneliti karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah, Misalnya, Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Husain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Perancis, Inggris, dan Jerman. Misalnya, Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti. Ia juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta. Misalnya, HOS. Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo.

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui oraganisasi Muhammadiyah. Ia mengikuti pendidikan Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bid’ah, tarekat, dan kebatinan sesat di Padang Panjang.
Biografi Buya Hamka: Ulama Otodidak
Tahun 1928, ia menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah. Dua tahun kemudian, ia menjadi konsultan Muhammadiyah di Makassar. Kemudian, ia juga terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah. Ia menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada 1946.

Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi Ketua Barisan Pertahanan Nasional Indonesia. Pada 1953, Hamka terpilih sebagai Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia. Namun, pada 1981 ia meletakkan jabatan tersebut karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Dari 1964 hingga 1966, Hamka selalu dipenjarakan oleh Presiden Soekarno. Ia dituduh pro-Malaysia. Selama di penjara, ia menulis Tafsir Al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, ia diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia, dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia.

Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik. Hamka juga seorang wartawan, penulis, dan editor. Sejak 1920-an, ia menjadi wartawan beberapa surat kabar, seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada 1928, ia menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada 1932, ia menerbitkan majalah Al-Mahdi di Makasar. Ia juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.

Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif, seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir Al-Azhar (5 jilid). Di antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura adalah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan Merantau ke Deli.

Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa, seperti kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas Al-Azhar pada 1958, Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia pada 1974, dan gelar Datuk Indono dan Pangeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.

Hamka wafat pada 24 Juli 1981. Jasa dan pengaruh Hamka masih tersisa hingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Ia bukan saja diterima sebagai tokoh, ulama, sastrawan di tanah kelahirannya. Jasa Hamka juga dikenal di Malaysia dan Singapura.

reference: wikipedia.com
                 google.com

Kamis, 03 April 2014

Lembaran Baru Jakarta

         Jakarta, sebuah kota metropolitan yang teretak dibagian barat laut pulau Jawa yang berpenduduk sekitar 28 juta jiwa, karena itu Jakarta menjadi kota metropolitan terbesar di Asia Tenggara dan kedua didunia. Sebagai ibukota Negara Indonesia, Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau disingkat DKI Jakarta ini juga menjadi pusat bisnis, politik, dan Kebudayaan. Jakarta merupakan tempat berdirinya kantor-kantor khusus seperti kantor pusat BUMN, perusahaan swasta, dan perusahaan asing. Kota ini juga menjadi tempat kedudukan lembaga-lembaga pemerintahan dan kantor seketariat ASEAN.
Baru setahun jalan ini, DKI Jakarta mendapatkan Bupati barunya, Ia bernama Jokowi. Pemimpin baru yang gemar blusukan ke daerah sekitar untuk memperhatikan rakyatnya berhasil mengambil hati warga Jakarta dan meraih peringkat satu di pemilihan suara. Terhitung sejak tanggal 15 Oktober 2012, Ia merupakan gubernur ke-16 yang memimpin Ibukota Indonesia. Melalui pengalaman menjabat walikota Surakarta (Solo) selama dua periode 2005-2010 dan 2010-2015, namun baru 2 tahun menjalani periode keduanya Ia mendapat apresiasi dari warga Jakarta untuk memimpin Ibukota Negara. Didampingi Basuki Cahaya Purnama atau paling dikenal dengan panggilan Ahok dipilih sebagai wakil gubernur DKI Jakarta. Seperti ditakdirkan untuk bersama, mereka berdua tampak serasi dengan gaya Jokowi  dan Ahok yang saling mengisi kekurangannya. Jokowi yang terkesan nyantai dan suka turun ke daerah-daerah untuk memonitoring sangat berbeda dengan Ahok yang begitu tegas dan tajam disetiap argumen-argumennya. Sebelumnya Ahok merupakan Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009-2014 dari partai Golkar namun mengundurkan diri pada 2012. Setelah mencalonkan diri sebagai wakil gubernur DKI Jakarta untuk Pemilukada 2012. Dia pernah pula menjabat sebagai Bupati Belitung Timur periode 2005-2006. Dalam pemilu gubernur Jakarta 2012, mereka memenangkan pemilu dengan presentase 53,82% suara. Pasangan ini dicalonkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai GErakan Indonesia Raya (Gerindra).
         Sudah setahun sejak 15 Oktober 2012 Jokowi Ahok menjabat, tidak terasa mereka telah memimpin sebuah wilayah dengan warga 520 ribu lebih tentu tidak sama dengan saat memimpin wilayah yang dihuni 10 juta manusia. Tentu ini bukan tugas mudah, terlebih dengan semua masalah sosial yang menjadi warisan pemerintah terdahulu.
Dua masalah utama Jakarta sudah pasti adalah kemacetan dan banjir. Dengan menormalisasi beberapa waduk (Pluit dan Ria Rio), pemerintahan Jokowi mengembalikan fungsi waduk seperti sedia kala. Langkah ini dianggap mampu mengurangi kpotensi banjir. Dua puluh hektar lebih wilayah waduk Ria Rio akan diubah kembali menjadi jantung penampungan air. Ini akan baru rampung tahun depan, ratusan kepala keluarga sudah dipindahkan dari hunian sementara mereka yang sempit menjadi penyebab banjir.
      Sebelumnya Jokowi dan Ahok juga merelokasinya banyak pedagang kaki lima dan kawasan Tanah Abang dan memindahkan mereka ke ruko blok G. Dibersihkan wilayah Tanah Abang dianggap banyak pihak sudah mengurangi kemacetan Jakarta dengan cukup signifikan dikawasan itu.

      Pengamat tata kota dari USAKTI. Yayat Supriyatna mengatakan bahwa yang menonjol dari setahun pemerintahan Jokowi-Ahok hanyalah segi kepemimpinan saja tapi dari skala kinerja membangun Jakarta keduanya masih belum maksimal diketahui penyerapan anggaran pembangunan menurut sebuah data baru sebesar 60%. Tak heran jika saat ini baru skala mikro saja yang bisa dibilang ada kemajuan sementara isu makro di Jakarta seperti kemacetan dan banjir masih jauh dari harapan. Yayat Supriyatna menilai pencapaian terbaik Jokowi dan Ahol setahun ini adalah mendorong mental percaya pada kemampuan diri sendiri bagi masyarakat Jakarta.
Maka dari itu jika kita telusuri dari perkataan Yayat Supriyatna tadi adalah walaupun pencapaiannya masih belum terlalu terasa oleh masyarakat Jakarta, lambat laun semoga semua tindakan itu bisa merubah keterpurukan tatanan kota DKI Jakarta ini. Namun semua gebrakan-gebrakan Jokowi-Ahok akan terasa seperti hembusan angin belaka jika tidak barengi dengan kesadaran masyarakat DKI Jakarta sendiri.  Karena semuanya butuh kerja sama untuk saling menjalankan tugas-tugas bersama yang akan berdampak baik untuk ibukota kita ini.